Skip to main content

Pulau Penyengat Tiang Melayu yang Rekat

Pupus sudah harapan saya untuk menyambangi Anambas tahun 2017. Pesawat yang tersedia di akhir tahun sangat mahal tarifnya. Sementara saya tak sanggup mengimbangi keberangkatan subuh Bukit Raya dari Pelabuhan Kijang (Bintan) menuju Pelabuhan Tarempa. Karena website Pelni menjadwalkan keberangkatan pukul 03.00. Tak usah diambil pusing, pasti ada tempat lain yang sama menariknya di Indonesia ini. Sekali ini saya menggunakan taksi online menuju Pelabuhan Punggur dari seputaran Batam Center. Karena tak dapat dipungkiri harus menarik pinggang jika akan menggunakan taksi di Batam. Sebenarnya ada Trans Batam yang menuju Pelabuhan Punggur. Saya mencobanya ketika dari Pelabuhan Punggur menuju Pelabuhan Sekupang.
 
Kapal Pongpong

Teriakan penjaja tiket dari dalam loket membuat semarak pagi itu. Akan lebih murah 5ribu rupiah jika membeli tiket pergi pulang. Jangan khawatir, tiket pulang dapat digunakan kapan saja. Ketika berangkat tiket yang saya beli seharga 52.500 dan tiket pulang 57.500. Tarif berbeda karena saya memilih Perusahaan Kapal yang berbeda. Sementara tariff seaport tax 10.000 di Punggur dan 5000 di Sri Bintan Pura Tanjungpinang. Kurang lebih 60 menit perjalanan, kapal cepat ini membelah lautan. Meninggalkan kepulauan di sepanjang perjalanan. Sesekali jantung berdesir ketika ombak memecah puritan.



Tawaran tukang ojek dan supir taksi terdengar lirih di seputaran pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Senyum simpul menolak ajakan halus, sembari mata meluaskan pandangan mencari persewaan sepeda motor. Tak semudah yang saya baca dari tulisan kawan kawan. Mungkin belum rejeki saya. Sesuai dengan arahan peta, saya berjalan ke pelabuhan sebelah. Iya betul, Pelabuhan Penyengat. Saya juga tak naik pikir karena akan mengunjungi Pulau Penyengat, sementara pelabuhan di Tanjung Pinang sendiri dinamakan Pelabuhan Penyengat. Pelabuhan yang bersebelahan ini memiliki pintu masuk yang berbeda. Sehingga kita harus berjalan kaki keluar dari Sri Bintan Pura dan masuk kembali ke Pelabuhan Penyengat, 1000meter kira kira jaraknya.

Beca Wisata

Komplek Pemakaman Raja Hamidah





Makam Tengku Aisyah



7ribu rupiah tarif yang dikenakan untuk 1 orang dewasa. Satu kapal kecil ini akan diisi sebanyak 15orang. Semua boleh naik ke kapal jika sudah tercapai 15 orang. Pompong demikian sebutan kapal kecil itu. Melaju dengan tenang meninggalkan pelabuhan. Kemudian sang nahkoda menurunkan terpal plastik menjadi penutup. Tak lama kemudian suara mesin kapal menjerit jerit seraya menghalau ombak di depan mata. Belum pernah saya grogi seperti ini ketika berada di lautan. Percikan ombak tetap hadir dan membasahi tubuh. 15menit berlalu, seolah 15 tahun lamanya. Saya sarankan agar kawan kawan naik di bagian belakang atau tengah untuk mengurangi efek air ombak yang masuk dari depan.


Masjid Raya Sultan Riau menyambut kedatangan siang kali itu dari tepian dermaga. Azan Dzuhur berkumandang dan saya melewatkan momen berada disana. Mungkin karena rindu kepada Raja Melayu yang semakin menggebu. Sehingga beca motor wisata  ini membawa ke komplek Pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Beca sewa ini akan mengantarkan pengunjung mengelilingi Pulau Penyengat dengan tarif resmi. Dari puluhan cerita juga lantunan Gurindam 12 yang kerap mengalun di telinga, terpukau aku bisa berada di pelataran pemakamanmu.  Pulau yang juga dikenal sebagai mas kimpoi salah satu sultan Kerajaan Riau Lingga ketika mempersunting seorang permaisuri bernama Raja Hamidah atau Engku Puteri, yang makamnya juga ada di pulau ini.

Harum melati menyeruak memenuhi isi ruangan. Pertanda baru saja ada yang menyambangi pemakamanan ini. Bekas tapak kaki yang basah juga belum lagi kering. Untuk menghargainya, pengunjung diharap melepaskan alas kaki jika masuk ke dalam. Pemakaman yang sederhana tetapi tertata dengan indah. Betapa bangsa kita terdahulu sudah memikirkan bahwa tempat peristirahatan terakhir harus elok dipandang mata, menjadi betah untuk dikunjungi, juga jauh dari sisi menyeramkan. Tidak seperti pemakamanan sekarang ini yang cenderung semerawut dan kurang tertata. Batu-batu nisan masih jelas menorehkan nama-nama pemilik makam. Sungguh beruntungnya keturunan Melayu, jejak sejarahmu tak hilang dimakan waktu. Seutas doa, serangkai kata mengiringi kepergian meninggalkan singgasana Tuanku Paduka Aisyah.

Sejatinya pulau ini adalah pulau persinggahan. Pada masa kerajaan Lingga berjaya, banyak pelaut yang singgah kemari untuk mengambil air bersih. Tidak dapat dipungkiri, pulau kecil menghasilkan air bersih yang sangat bagus kualitasnya. Hingga suatu ketika terdapat pelaut yang melanggar aturan adat pulau ini hingga diserang lebah dan serangga lainnya. Pada akhirnya pulau ini terkenal dengan nama Pulau Penyengat.
Rumah Besar Adat Melayu

Pelaminan Melayu

Tempat Tidur Masyarakat Melayu

Selanjutnya kami singgah ke Rumah Besar Adat Melayu. Seperti rumah adat nusantara kebanyakan, bangunan ini merupakan aula besar dengan atap yang tinggi. Tiang-tiang dari kayu yang besar lagi kokoh. Dihiasi dengan ukiran kayu yang indah. Ornamen-ornamen tertera menceritakan bahwa kemampuan tangan dan citarasa Melayu Kuno sangatlah tinggi. Bangunan ini juga menyediakan persewaan pakaian adat kepada pengunjung. Dapat digunakan untuk berfoto di Pelaminan maupun di ruang tidur. Gurindam 12 terpajang jelas di tiang-tiang dengan bingkai ukiran yang indah. Mungkin karena saya tak habis mengelilingnya, maka tak saya temukan bagaimana perkakas dapur Melayu Kuno. Di depan halaman tersedia penjaja pernak pernik, oleh-oleh dan makanan khas Bintan.
Saya putuskan untuk kembali ke pelabuhan. Di pelabuhan saya menutup perjalanan dengan menyantap ikan bakar dan menikmati otak-otak khas Bintan. Menjadi catatan dalam perjalanan saya kali itu adalah tidak semua yang kita inginkan dapat terpenuhi, dan bisa saja hal lain yang datang jadi lebih menarik. Jangan buang sampah sembarangan ya guys.

Ikan Bakar Khas Penyengat

Otak Otak Penyengat

Teko untuk Mencuci Tangan khas Melayu

*artikel ini juga saya publish di Kaskus


Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen