Skip to main content

Kopi Toraja di Toraja

Selepas makan sop kepala ikan, masih bersama Allyz mengitari Rante Pao. Tujuan berikutnya adalah Londa. "Allyz nanti kita harus singgah ke tempat parkir bus itu" ujarku menunjuk bus-bus yang terparkir. Allyz mengiyakan sembari mengajak menikmati kopi Toraja yang kesohor itu. Belum lagi masuk ke Simpang Londa terlihat kembali beberapa bus Toraja terparkir rapi. Nanti akan kita bahas kenapa saya tertarik untuk singgah menikmati bus Toraja. Selain mewah, Perusahaan Otobus di Rante Pao sangat mengikuti perkembangan modifikasi transportasi massal ini. Dari roda enam sampai bus yang kerap kami sebut tronton (ban belakang gandeng). Londa menarik sebenarnya, tapi entah kenapa bayang bayang rindu, ah bukan, bayang rindu itu lagu Minang dari Rayola. Bayang kopi Toraja sepertinya lebih memikat siang ini.



Nyaris kurang dari satu jam, kami langsung meninggalkan Londa. Karena takut kah? Tenang saja, di kampung kami Aek Nauli, Samosir sana kuburan adalah tempat melepas rindu. Kami terbiasa melihat kuburan dibuka dan tengkorak juga tulang belulang menjadi pemandangan yang lazim. Kopi, hari ini saya jelas belum menikmati seteguk kopi pun. Aceh mendidik lidah ini menjadi kurang ajar, menjadi lebih memahami bagaimana cara menikmati secangkir kopi. Hingga lidah ini menjadi terbiasa dimanjakan dengan citarasa makanan dan minuman yang nikmat. Jadi maaf bila kelak ku katakan kepada kalian bahwa di dunia ini ada kopi yang kurang nikmat. Tetapi keinginan minum kopi ini harus tertunda sejenak karena ada hasrat untuk melihat bus-bus Toraja sekejap.

Warung Kopi Toraja, demikian papan nama yang terpajang di depan kedai ini. Nyaris bukan seperti kedai kopi. Semua ruangannya tertutup kaca dan papan. Padahal kedai kopi identik dengan para penikmat tembakau. Allyz tampaknya memahami perasaan saya, betapa saya sedikit menggandrungi bus, juga tak rela ketinggalan segelas kopi. Allyz membawa saya ke Warung Kopi Toraja.
Lokasinya berada di jalan lintas Poros Makale - Rantepao, di seberang pool PO Primadona dan PO Setuju. Sekilas saya bergumam, aneh ya ada kedai kopi Toraja yang memasang nama Toraja di Toraja sendiri. Bahkan saya belum pernah melihat ada tulisan Mie Aceh di Aceh sendiri. Apa mungkin ada kedai kopi Aceh di Toraja, sehingga harus dipasangi label Toraja di Toraja sendiri. Semakin berkecamuk ketika saya tak melihat ada pengunjung lain di kedai kopi ini. Ini kedai kopi atau tempat persembunyian kah? Atau karena ruangan tertutup atau karena kopinya tidak enak atau ah sudahlah baiknya kita coba masuk perlahan. Apakah sangat sulit mencari kedai kopi Toraja di Toraja hingga kedai kopi ini harus menjelaskan keberadaannya?

Seorang perempuan paruh baya tengah duduk di tengah ruangan. Memisahkan biji kopi sesuai ukuran. Aneh bagi saya karena biasanya hal ini dilakukan petani setelah kopi dijemur. Kenapa disini dikerjakan di sebuah kedai kopi? Apakah kopi dijual begitu saja seperti di Sidikalang sana? Pemuda yang duduk di depan etalase kopi menyambut kami dengan ramah. Atas seijin beliau, saya diperkenankan untuk mencium aroma kopi yang disimpan dalam dua buah toples di atas lemari etalase. "Bang saya pesan yang ini, saya mau lihat lihat bus kejap di seberang sana. Boleh ya?" Tak ada jawaban yang pasti, sepertinya beliau mengiyakan.

Kembali dari memandangi bus yang terparkir di seberang, susunan beberapa meja dan kursi menyambut kami. Kedai Kopi Toraja ini sebenarnya tidak cocok disebut sebagai kedai kopi, tetapi lebih cocok disebut rumahnya kopi Toraja. Dua cangkir disajikan, kopi belum dituang kedalam cangkir. Saya paham, penyaji enggan membiarkan kopi menjadi dingin. Kopi yang tetap panas akan menjaga keaslian citarasa dari kopi itu sendiri. Jadi kalau ada yang berkunjung ke Rantepao dan ingin menikmati kopi juga kesendirian, singgahlah kemari. Sunyi dan sepi, sungguh cocok untuk berkumpul dengan keluarga. Jarang sekali saya melihat ada biji kopi dalam sebuah kedai, seperti misal di Cut Zein sebuah kedai kopi di Beurawe, Banda Aceh. Pemberian nama Warung Kopi Toraja ternyata ingin menjelaskan citra kopi Toraja yang sesungguhnya. Sekalipun menggunakan biji kopi Toraja, jika tak pandai dalam penyajiannya, maka sudah pasti akan rusak cita rasa segelas kopi.

Aroma kopi yang disajikan sungguh lembut, mampu menyeruak memenuhi sudut sudut ruangan. Arabica Awan telah tersedia di atas meja. Saya sungguh tak paham kenapa disebut Awan dan Sapan. Berdasarkan penuturan ibu yang memilah-milah kopi tersebut, Awan dan Sapan merupakan daerah penghasil kopi. Mungkin saja seperti Dairi yang mensuplai kopi Sidikalang. Sepiring deppa te’tekan turut tersaji petang itu. Semacam penganan tradisional dari tepung beras yang dibuat lonjong kecil. Rasanya gurih manis berwarna hitam, tidak salah memang jadi teman kopi. Pahitnya kopi perlahan menyeruak masuk ke dalam rongga gigi. Tanpa gula untuk mengetahui citarasa kopi yang sebenarnya. Perlahan rasa manis muncul bersama air liur di dalam mulut. Sungguh kejam rasa kopi hari ini. Arabika nya jelas saya katakan yahud. Ini sungguh memenuhi ekspektasi saya terhadap ketenaran Kopi Toraja. Air kopi mengalir lembut menyirami kerongkongan. Pahit hampir asam, tidak asam pekat.

Arabika Awan ini diseduh dalam komposisi 10 gram kopi, diseduh dalam 180ml air dengan suhu air 96 derajat celcius. Biji kopi yang disajikan dalam sortiran medium. Di-roast-ing secara tradisional. Pemilik kedai kopi ini melakukan sendiri sangrai kopi. Disangrai di dapur tepat di belakang ruang kami minum kopi. Selain menyajikan kopi seduh, Kedai Kopi Toraja juga menjual bubuk kopi sebagai buah tangan. Untuk 200gram robusta dapat ditebus dengan harga Rp30.000,- dan untuk 200gram arabika saya dapatkan dengan harga Rp 60.000,-. Satu gelas arabika pesanan saya dikenai harga Rp 20.000,- dan jajanan khas Toraja disajikan dengan gratis. Belum berkesempatan singgah ke kedai kopi nan sunyi ini? Tenang saja, Warung Kopi Toraja dapat membantu kalian semua untuk mengirimkan pesanan kopi ke penjuru dunia.


Warung Kopi Toraja
Jl. Poros Makale – Rantepao No 77
(samping Misiliana Hotel)
Desa Tallulolo, Kesu,
Toraja Utara, Sulawesi Selatan
Whatsapp: 0812-4715-2934
line: warungkopitoraja
IG: @warungkopitoraja

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen