Skip to main content

Eksistensi Mie Aceh Melalui Citarasa Mie Kepiting 46

Mie Aceh atau kerap disebutkan mie saja bagi kebanyakan masyarakat Aceh merupakan makanan yang tak asing di telinga. Ada kalanya menjadi pelipur lapar atau sekedar jadi santapan goyang lidah semata. Soal rasa, siapa yang tak mengenal makanan ini. Hampir di seluruh penjuru Aceh terdapat kedai mie. Pun demikian dengan beberapa kota besar di seantero jagat nusantara. Jika tidak murni sebagai kedai mie, biasanya pedagang mie bersanding baik dengan kedai-kedai kopi.
Tidak jarang juga branding mie menjadi sumber penarik minat pengunjung kedai kopi. Sebut saja Elcomandante Coffee di Batoh dan Mie Yahli di dekat Simpang Surabaya. Atau kedai mie tunggal seperti Mie Ayah di Mibo atau Mie 46 di Gampong Baron, Blang Oi. Beberapa lokasi tadi kesemuanya berada di Banda Aceh.


Tidak ada yang berbeda dari kebanyakan mie Aceh di dunia ini. Hanya rasa dan saja yang menjadi pembeda di kelasnya. Munculnya kedai kopi semi kafe atau yang terang-terangan berevolusi menjadi kafe membuat peradaban mie Aceh sedikit kehilangan rasa di Aceh sendiri. Sejak jaman Kutaraja dahulu pernah disebutkan bahwa soal rasa yang utama. Munculnya berbagai macam kedai kopi atau kafe di Banda Aceh sendiri membuat beberapa kedai kopi maupun kedai mie yang telah lama ada harus mempertahankan eksistensinya. Pertahanan dasar yang harus diperkuat adalah soal rasa.

 Mie Lekkit
Mie 46 yang berlokasi di Gampong Baron, Blang Oi mau tidak mau harus berjibaku dengan perubahan pola konsumtif masyarakat Banda Aceh terhadap mie Aceh. Jika pengunjung sepi sudah dipastikan kedai mie akan mati. Kedai mie yang satu ini tergolong sebagai kedai mie kampung. Bangunannya terbilang biasa tidak mengikuti pola bangunan modern. Akan buka mulai pukul 4 sore dan tutup pada pukul 6 pagi juga menjadi jargon unik yang membuat pengunjung tertarik.

Konsep yang dibangun sangat sederhana. Mie 46 menawarkan harga yang terjangkau seperti mie Aceh lainnya di Banda Aceh. Meski menu yang ditawarkan beragam tidak serta merta membuat kedai ini menjadi mahal.Harga yang ditawarkan tidaklah cukup prestisius bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sehingga Mie 46 tidak melahirkan sekat antar golongan masyarakat. Jika Bandung tercipta ketika Tuhan sedang tersenyum, maka Mie 46 tercipta ketika Tuhan sedang menjatuhkan mie ke penggorengan.
Mie Kepiting

Beberapa pengunjung merasakan harga yang ditawarkan masih terjangkau saku. Mie Lekkit menjadi idola saya bila singgah kemari. Mie ini tidak kering dan juga tidak basah. Berada di antaranya. Dari beberapa kedai mie yang saya singgahi, belum ada yang bisa memenuhi ekspektasi Mie Lekkit seperti yang lidah saya harapkan. Tetapi kebanyakan pengunjung mengincar kepiting bila singgah kemari. Mie 46 menawarkan kepiting segar yang masih hidup. Dapat disajikan dengan mie kuah ataupun mie goreng. Uniknya harga mie kepiting adalah berdasarkan besar kecilnya kepiting yang kita pesan. Sehingga pengunjung tidak was-was selama menyantap mie pesanannya karena harga.

Jika kebanyakan orang datang untuk berfoto ria bersama makanan pesanannya, kedai mie yang satu ini sangat temaram. Jadi kurang cocok untuk berfoto ria. Tidak banyak jenis minuman yang dipesan karena hanyalah kedai mie kampung biasa. Selain menyediakan mie kepiting, Mie 46 juga menyajikan mie dengan daging, mie cumi dan mie telur. Mie kuning Aceh terkenal sangat lembut di lidah. Satu yang menjadi catatan setelah menyantap Mie 46 tenggorokan tidak menjadi kering. Pertanda bahwa mie tersebut tidak menggunakan bahan pengawet. Saya tidak akan berbicara soal rempah-rempah khas Aceh yang membalut sajian mie 46. Karena sudah menjadi standar Aceh bahwa setiap kuliner itu sangat garang soal bumbu dan penyajiannya. Jadi tidak ada toleransi kurang bumbu dalam istilah kuliner Aceh. Saya tidak menyarankan pembaca untuk penasaran, datang dan rasakan.

Jika penasaran dengan Mie 46, lokasinya tidak jauh dari Hotel Grand Permata Hati, Blang Oi - Ulhe Lhee. Dari arah Lapangan Blang Padang, ke arah Hotel Grand Permata Hati. Setelah hotel tersebut akan ada jalan masuk ke kiri. Kurang lebih masuk 500 meter. Nanti ada kedai kecil Mie 46 di sebelah kiri jalan. Selamat menggigit kepiting pemirsa.

Comments

  1. "Mie 46 tercipta ketika Tuhan sedang menjatuhkan mie ke penggorengan" (baru tau slogan ini..... mantaapp bere)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen