Skip to main content

Angkringan Banda Aceh rasa Yogyakarta



Dari tepi jalan menuju pelabuhan Ulhe Lhe sekilas kedai ini tak terlihat. Letaknya sebelah kiri jalan kira kira 1km dari Museum Tsunami. Nyaris tepat di seberang Dhapu Kupi Ulhe Lhee. Sebuah gerobak khas angkringan di Pulau Jawa terlihat menyambut tamu yang berkunjung. Tampak cirri khas teko alumunium di tepi gerobak. Biasanya teko ini berisi air panas yang terdapat bara api di bawahnya. Tak asing layaknya gerobak angkringan yang sering saya lihat di Jogja. Beberapa nampan plastik turut bersanding menampung beberapa jenis gorengan. Ah jadi ingat Weleri, dulu sering berkunjung kesana. Tak jarang pula menikmati jajanan khas angkringan disana. Dulu kalau sehabis belanja atau membantu pekerjaan rumah kerap diberi uang jajan sama Mak Tua. Seribu rupiah memang tak banyak, tapi cukup untuk segelas es teh manis dan 2potong gorengan. Sekarang entah berapa harganya di Weleri sana. Beberapa potong sate telur puyuh turut meramaikan tempat jajanan gerobak saat itu. Ada juga sate ati ampela bertemankan sate usus. Bila tak pandai mengolahnya, rasa sate usus akan lain tentunya. Beberapa nasi khas angkringan yang tersisa berada di tempat lainnya di atas gerobak ini. Beberapa hal tersebut merupakan ciri khas dari angkringan. 





Bangku panjang di depan gerobak selalu disajikan. Angkringan yang identik dengan trotoar dan tepi jalan, kali ini tidak terlihat sama. Mungkin pemiliknya ingin menjaga kaidah keindahan trotoar dan jalan raya. Setelah mengambil sebungkus nasi kucing dan beberapa potong sate, masuklah saya ke dalam sebuah bangunan. Tampak jelas bahwa ini adalah rumah toko. Terlihat beberapa lukisan yang mempercantik ruangan. Lukisan khas Jawa pula, dengan beberapa banner iklan angkringan tersebut. Lesehan merupakan ciri khas dari angkringan kebanyakan. Tidak lupa memesan jahe susu sebagai teman makan. Meja pendek cukup nyaman untuk meletakkan makanan yang kita pesan. Jadi kita bisa menyantap makanan dengan santai dan cukup tenang. Sekali kali memang saya merindukan makan di tempat lesehan.







Sebungkus nasi kucing dihargai 4ribu rupiah. Apa bedanya dengan kita membeli sepiring nasi di warung nasi biasa? Tentunya bila kita melihat secara nilai, sudah barang tentu akan terlihat untung ruginya. Tetapi jika melihat dari ciri khas dan rasa, harga tentunya bukan masalah untuk penikmat cita rasa. Beragam nasi kucing yang ditawarkan dengan lauk yang berbeda. Ada nasi dengan tempe, tahu, teri, ikan, daging. Beras yang dipakai sangat baik, terbukti nasi yang disajikan cukup pulen. Mungkin ini yang berbeda dengan angkringan kebanyakan, nasi disini masih hangat. Pertanda masih baru dan belum lama dibungkus. Saya mencoba dengan tempe. Sambal yang disajikan nyaris sama dengan sambal angkringan kebanyakan.  Tidak perlu waktu lama, sebungkus nasi, 2 potong sate telur puyuh, 1 potong sate usus habis saya santap. Sate puyuhnya mengingatkan saya ketika makan angkringan di Semarang. Cita rasa Jawa Tengah tetiba hadir sore itu. Jahe susu yang dihidangkan tidak mempunyai ciri khas yang lain. Sama seperti jahe susu di tempat lain. 

Menikmati angkringan sore itu rasanya seperti memanjakan lidah. Membuat kita terbuai serasa sedang berada di Yogyakarta.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen